Mail   |   Chat   |   Forum
Home | Hiburan | Musik | Pendidikan
Update   
 
 
info musik
lirik & lagu
album baru
pendatang baru
top 10
resensi
agenda musik
sosok
   
 
 
RESENSI ALBUM
 
  Maraknya band baru di blantika musik Indonesia belum tentu membuat kemajuan. Tapi Drive menawarkan sesuatu yang berbeda. 'Esok Lebih Baik' jadi perkenalan mereka.
 
 
  Dari judulnya saja 'Don't Make Me Sad' terlihat, di album keduanya ini Letto tak ingin bersedih. Sedikit lagu mellow, dengan fariasi suara baru di musiknya, Letto mencoba garang.
 
      
 
 


  LEO KRISTI: Kegelisahan Seorang Musisi Jalanan
Jakarta-RRI-Online,
KALAU ada musisi yang disebut "musisi jalan-jalan" [troubador] dalam arti sesungguhnya, nama LEO IMAM SUKARNO pastilah menjadi nama yang bakal selalu disebut. Dikenal dengan nama LEO KRISTI, pria kelahiran Surabaya 8 Agustus 1949 ini, benar-benar menikmati kariernya di jalanan. Hari ini di Jawa, besok sudah di Sumatera, lusa mungkin sedang main gitar di Sulawesi.

Padahal, rekan-rekannya seperti Gombloh [alm] atau Franky Sahilatua [akhirnya] memilih untuk "mendarat" di satu tempat, meski secara karya, rekan-rekannya itu tetap bersuara lantang tentang alam, cinta atau sosial.

Pernah bergabung dalam satu band bernama Lemon Trees bareng Gombloh dan Franky, Leo Kristi merasa menemukan "pengembaraan" musikalnya lewat perjalanan panjang menjelajah nusantara.

Yang jelas, musik adalah dunia yang dikenalnya sejak kecil. Leo kecil menyimak setiap irama yang dimainkan tiap subuh oleh ayahnya, Raden Ngabei Iman Soebiantoro, pensiunan pegawai negeri, kebetulan pemain musik. Menurut Leo, setiap pagi dirinya mendengar musik lembut dari kamar ayahnya. "Indah sekali," kenangnya. Anak kedua dari empat bersaudara ini sejak di SD aktif dalam kegiatan menyanyi di gereja, bagian dari kegiatan sekolahnya yang Kristen --padahal ia sendiri Islam. Leo waktu itu sekolah di SD Kristen, Surabaya [1961]. Soal ini, Leo punya pendapat yang menarik,"Saya menerima musik sebagai sahabat, menyambut nyanyian sebagai kecintaan."

Ia pernah mengatakan, "Saya menerima musik sebagai sahabat, menyambut nyanyian sebagai kecintaan." Di SMP pula ia mendapat sebuah gitar dari ayahnya. Lalu, ia masuk kursus Tony Kardijk, Direktur Sekolah Musik Rakyat di Surabaya. Untuk menyanyi ia belajar pada Nuri Hidayat dan John Topan. "Itulah sekolah formal saya di bidang musik," tuturnya. Leo juga pernah kursus gitar pada Poei Sing Gwan dan Oei Siok Gwan. Dua orang gitaris yang diakuinya cukup memberi pengaruh musikal.

Di SMA I Surabaya, ia tidak lepas dari kewajiban berbaris dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan di bawah Tugu Pahlawan -- atas ketentuan kepala sekolah yang patriotismenya menggebu-gebu. "Tiap minggu bisa tiga sampai empat kali," tutur Leo.

Leo Kristi di kalangan wartawan, adalah musisi yang "sangat sulit" dicari. Tapi bisa tiba-tiba nongol dan menggelar konser. Sebelum dikenal sebagai musisi, pria yang logat jawa timurannya masih sangat kental ini pernah menjadi penjual buku Groliers American Books dan karyawan pabrik cat Texmura. Jangan salah, Leo juga pernah menjadi penyanyi di restoran China Oriental dan Chez Rose (1974-1975) dan menyanyi di LIA dan Goethe Institut.

Musik Leo, yang lahir atas nama grup Konser Rakyat Leo Kristi -- semula bersama Naniel, Mung, dan penyanyi Tatiek dan Yayuk, lantas mengubah barisan dengan anggota Ote, Komang, Cok Bagus, dan penyanyi kakak beradik Yana dan Nana van Derkley, selain Mung yang masih tetap -- menyenandungkan balada, semangat cinta bangsa, dan kisah-kisah rakyat. Lebih banyak dalam irama folk, country, dan didukung dengan lirik-lirik yang puitis. "Ibulah sumber magnet, yang menggebrak saya dalam kesungguhan. Suatu hari beliau berkata, jadilah musikus yang patriotik," kata Leo. Hampir tak pernah absen dalam beberapa kali pementasan memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus di TIM Jakarta, grup Leo juga menelurkan beberapa album. Di antaranya Nyanyian Fajar [1975], Nyanyian Malam [1976], Nyanyian Tanah Merdeka [1977], Nyanyian Cinta [1978], Lintasan Hijau Hitam dan Potret Kecil Citra Negeriku [1984], Biru Emas Bintang Tani [1985], dan Catur Paramita [1993]. Bagi grup Leo, rekaman, konon, lebih merupakan paket dokumentasi perkembangan musik mereka.

Jangan tanya mengapa kini jarang menelorkan album, karena Leo masih menolak disebut mandek. Oleh penggemarnya Leo dianggap telalsibuk dengan gaya bohemiannya. Memang, Leo sudah jarang menelorkan karya-karya apik seperti Ana Rebana, Di Sepanjang Rel-Rel dan Kiara Condong.

Terakhir ditemui, Leo Kristi mengaku memiliki beberapa lagu baru hasil pengembaraannya ke tanah Gorontalo, Sulawesi. "Ada yang judulnya Hulontalo Blues dan Balada Siska dan Windy, tetapi belum selesai sepenuhnya," tutur lelaki yang juga pelukis itu.

Padahal, kalau mau enak, Leo Kristi seharusnya bisa. Tapi pilihannya memang "unik" dan sulit dimengerti. Seunik musiknya dengan gaya menyanyi penuh semangat diiringi perpaduan irama alat musik modern serta tradisional yang menghentak menjadi ciri khasnya.

Memang rada absurd kalau mencari relasi antara kesukaan mengembara [menolak kemapanan] dengan produktivitas yang rendah. Karena keduanya sesungguhnya tidaklah berhubungan langsung. Mengembara adalah "pekerjaan" lain dari produktivitas. Cuma saja, seharusnya pengembaraan berarti memperkaya pengalaman dan kemudian memperbanyak karya.

Pada Leo relasi semacam ini seperti tidak berlaku. Ia mengembara bukan untuk tujuan menggelar konser nantinya. Oleh karena itu pula ia merasa tidak perlu mempersiapkan karya. Toh lagu-lagu yang ia rekam sendiri saja sampai kini tidak menemukan produser. "Selalu tidak cocok soal harga," kata Leo memberi alasan. Kita tahu itu alasan semata, karena pada suatu saat sebuah lembaga menawarinya "bekerja" untuk melahirkan album, tetapi Leo malah tidak pernah nongol.

Leo Kristi pun merasa perlu menikah. Malah kini dia menjadi ayah dua anak. Tapi style bohemiannya itu tetap tak berubah. Media selalu "kesulitan" mengorek tentang kehidupan pribadinya itu. Yang tampak benderang adalah bahwa Leo Kristi juga adalah seorang "bintang film" yang cukup andal. Dia didapuk oleh Tantowi Jahja sebagai Bung Tomo yang meledak-ledak [dan herannya, cocok] dalam film Soerabaia '45.

Paling tidak, Leo Kristi menjadi sebuah "jembatan" di antara dua dunia yang sering dianggap berseberangan. Dunia komersialisme [berbanding lurus dengan kapitalisme] dan dunia idealisme. Leo memilih ideal dengan jalan yang dipilihnya. (THS)
 
     
           
Powered by
      Mail   |   Chat   |   Forum
Divisi Multimedia
Radio Republik Indonesia