Tentang RRI Kegiatan Peraturan Cabang Weblinks Galeri Photo
         
  Update:   
Home Info Iklan »
 
? Tentang Kami
? Visi & Misi
? Sejarah
? Manajemen
? Undang Undang
? Peraturan Pemerintah
? Keputusan Menteri
? Cabang Utama
? Cabang Madya
? Cabang Muda
? Cabang Pratama
? Cabang SLN
? Pusdiklat
 
 


 
 
 
   
   Cabang Utama Jakarta :
     
  ? Profil
? Programma
  ? Tarif Jasa Siaran
  ? Profil Penyiar
  ? Marketing
 
 
 
PROFIL

Keberadaannya sejantung dengan denyut kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Konon tiga minggu sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, yaitu tanggal 26 Juli - 14 Agustus 1945, para Angkasawan Radio yang bekerja di kantor berita Jepang Domei maupun yang bertugas di stasiun radio milik Dai Nippon (Hoso Kyoku), telah memonitor radio-radio luar negeri seperti BBC London, maupun VOA Amerika yang menyiarkan kekalahan tentara Jepang dengan dijatuhkannya bom atom di Hirosima dan Nagasaki.

Jepang bertekuk lutut, dan seluruh jajahan Jepang diserahkan kepada pihak sekutu, termasuk Kepulauan Indonesia, beserta rakyat dan perangkat-perangkat peralatannya diantaranya termasuk alat penyiaran radio.

Atas dasar mempertahankan kemerdekaan yang diperoleh, maka pada tanggal 10 September 1945, para pegawai radio Hoso Kyoku berkumpul di Jakarta untuk merundingkan cara pengambil alihan radio Hoso Kyoku untuk dipersembahkan kepada bangsa Indonesia sebagai alat perjuangan.

Pertemuan tersebut tidak membawa hasil karena semua pemancar dan alat-alat penyiaran radio Hoso Kyoku sudah didaftar dan ditangani oleh sekutu (SEAC di Singapura).

Pertemuan berikutnya diselenggarakan di kediaman Adang Kadarusman di Menteng, dan tepat pukul 24.00 WIB rapat dibuka oleh Dr. Abdulrachman Saleh, adapun pertemuan tersebut dihadiri antara lain :

Jakarta :
Adang Kadarusman, Sutoyo Surjodipuro, Jusuf Ronodipuro, Sukasmo, Syawal Mochtarudin, M.A. Tjatja.

Bandung :
Sjakti Alamsyah, R.A. Darja dan Agus Marah Sutan.

Yogyakarta :
R.M. Soemarmadi dan Sudomomarto.

Surakarta :
R. Maladi dan Sutardi Hardjolukito.

Semarang :
Suhardi dan Harto.

Purwokerto :
Suhardjo.

Pertemuan tersebut berakhir pagi pukul 06.00 WIB yang membuahkan beberapa keputusan, namun keputusan yang mendasar antara lain :

* 11 September 1945 ditetapkan sebagai Hari berdirinya Radio Republik Indonesia.

* Tri Prasetya RRI, sebagai jiwa dan sumpah Pegawai RRI kepada Republik Indonesia untuk menjaga RRI sebagai alat perjuangan bangsa.

* Organisasi semua radio tunduk kepada komando pusat (diketuai Dr. Abdul Rachman Saleh).

Pada perjuangan kemerdekaan jumlah siaran RRI bertambah 29 buah termasuk 8 stasiun yang telah ada (Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang) dan tersebar dibeberapa wilayah.

Namun, sebagai akibat dari Agresi Militer Belanda Pertama, jumlah RRI menyusut menjadi 10 studio diantaranya Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kediri, Surabaya, Malang, Blitar, Magelang, Purwokerto dan Pekalongan menggabung di Wonosobo dan Pati. Untuk menghemat peralatan dan tenaga, Stasiun RRI Surabaya, Kediri, dan Malang akhirnya digabungkan menjadi satu dengan nama RRI Jawa Timur berkedudukan di Kediri, sedangkan Blitar dan Jombang dijadikan tempat stasiun relay.

Demikian juga RRI Magelang, Purwokerto, Pekalongan disatukan dengan nama RRI Jawa Tengah berkedudukan di Magelang dengan stasiun relay di Wonosobo.

Sementara itu Stasiun Nasional RRI Jakarta yang beralamat di Jalan Medan Merdeka Barat 4 dan 5 pecah dua , karena yang berada di Merdeka Barat Nomor 4 digunakan oleh NICA dan digunakan untuk siaran Radio Resmi Indonesia (RRI) yang ditangani oleh Belanda, sedangkan Nomor 5 digunakan untuk siaran Radio Republik Indonesia (RRI) ditangani oleh bangsa Indonesia.

Terjadilah Perang Siaran Udara, satu sisi membawa kepentingan penjajah Belanda sementara satu sisi adalah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan RI. Sampai menjelang 21 Juli 1947 dimana Gubernur Jenderal Van Mook akan mengadakan wawancara pers, para Angkasawan RRI telah menduga bahwa wawancara tersebut mengandung arti tertentu yang merugikan bangsa Indonesia dan ternyata dugaan itu benar.

Kepala Studio RRI Nasional jakarta, Yusuf Ronodipuro tanggal 21 Juli 1947 sore masuk ke studio dan bermalam disana guna menjaga kemungkinan terjadi sesuatu. Saat itu dalam acara Tanah Air Memanggil, penyiar RRI, Piet De Queljae menutup siarannya denga mengucap "Mudah-mudahan sampai berjumpa lagi, Sekali Merdeka Tetap Merdeka".

Tepat jam 22.30 WIB disaksikan oleh wartawan-wartawan luar negeri Stanly Swinton dari AP, Arnold Bracman dari UP dan Frik Werner dari AFP, Tentara Belanda menyerbu Radio Republik Indonesia di Merdeka Barat No. 5 bersamaan dengan itu pula tentara kolonial Belanda melakukan agresi militer pertama.

Yusuf Ronodipuro yang saat itu berada di studio ditangkap dan sejak itu RRI Jakarta tidak mengudara, diganti dengan Radio Resmi Indonesia (RRI) milik Belanda.

Meskipun RRI Jakarta diduduki Belanda oleh pasukan NICA, namun RRI Yogyakarta yang pada saat itu Ibukota RI dipindah ke kota tersebut, tetap mengudara. Bahkan di Sumatra lahir studio RRI baru seperti di Kotaraja, Bukittinggi, Padang, Pekanbaru, dan radio-radio gelap lain yang kesemuanya mengumandangkan perjuangan bangsa Indonesia.

Saat Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menyerang Yogyakarta secara tiba-tiba dimana perundingan sedang berjalan. Seluruh Angkasawan RRI yang juga pejuang menyingkir ke daerah-daerah pegunungan. Namun demikian semboyan SEKALI DI UDARA TETAP DI UDARA tetap berkumandang sampai Belanda dan dunia Internasional mengakui Kedaulatan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949.

Pada tanggal 1 Agustus 1953 RRI ada di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Medang, Kotaraja, Padang, Bukittinggi, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Manado, Ambon dan Denpasar, ditambah dengan stasiun-stasiun yang berstatus relay dan juga menyelenggarakan siaran-siaran lokal di Cirebon, Jember, Madiun, dan Ternate.

Dimasa Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, RRI selalu dikonotasikan sebagai corong pemerintah. RRI selalu membuat klarifikasi maupun justifikasi setiap tindakan pemerintah serta kurang menampung aspirasi publik (kurang kritis). Itulah mengapa pada saat itu publik menganggap RRI sebagai corong pemerintah.

Dimasa Reformasi, RRI melakukan perubahan mendasar dengan memposisikan diri menjadi radio publik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dengan tidak mengacuhkan kepentingan publik. RRI Jakarta, sesuai dengan keputusan Menteri Perhubungan tentang pengalihan kanal frekuensi radio siaran FM diberi jatah 4 frekuensi yaitu untuk PRO1 (Hiburan & Informasi), PRO2 (Hiburan & Informasi), PRO3 (Berita & Informasi), dan PRO4 (Budaya).

 

 


         
Powered by Penamatics     Mail  |   Chat  |   Forum
Divisi Multimedia
Radio Republik Indonesia