Mail   |   Chat   |   Forum
Home | Hiburan | Musik | Pendidikan
Update   
 
 
IPTEK
lingkungan
keluarga
kesehatan
nusantara
tips
figur
   
 
 
 
NUSANTARA
 
? Pecinan Glodok, Pesona Kota Tua di Tengah Gemerlap Metropolitan Jakarta
? Kawah Ijen, Kawah Eksotis Berair Hijau Kebiruan
? Tanah Toraja, Andalan Wisata Sulawesi Selatan
 
 


   
  22 Desember 2004
Strategi Bisnis, Intelijensi spiritual
Jakarta-RRI-Online,
Sejak jaman pencerahan yang mengagungkan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai lambang kemajuan peradaban, intelijensi naik daun dan dianggap sebagai prediktor utama kesuksesan, bahkan mungkin satu-satunya. Sehingga salah kaprah terhadap konsep IQ dan terjadi pemberhalaan IQ (intelligence quotient). Sering terjadi pertukaran konsep di kalangan awam antara intelijensi (intelligence) dan IQ. Intelijensi adalah sebuah konsep, yang dioperasionalisasikan dengan suatu alat ukur, dan keluaran dari alat ukur inilah yang berupa IQ.

Angka yang keluar adalah angka berdasarkan satuan tertentu. Semacam 'gram' untuk 'berat', dan 'meter' untuk 'jarak'. Konsep inilah yang harus diluruskan agar tidak menimbulkan beragam penafsiran: IQ adalah satuan ukur.

Sesuai dengan berjalannya jaman, manusia mulai menyadari bahwa faktor emosi tidak kalah pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan, bahkan dipandang lebih penting dari pada intelijensi. Daniel Goleman, walaupun bukan pencetus pertama, telah mempopulerkan pada pertengahan 1990-an. Seperti juga IQ, konsep kecerdasan emosi ini dioperasionalisasikan menjadi alat ukur dan keluarannya disebut EQ.

Demikian pula penerapannya dalam kehidupan organisasi, inteligensi tidak lagi dianggap satu-satunya faktor menentukan kinerja seseorang. Dalam konsep kompetensi faktor-faktor seperti motivasi, ketrampilan interpersonal, kepemimpinan mendapat perhatian yang cukup signifikan.
Dalam konteks prediktor kesuksesan, aspek-aspek kepribadian lainnya juga dikeluarkan dan menjadi satu aspek baru. Misalnya daya juang dikeluarkan dan dioperasionalisasikan menjadi adversity quotient (AQ). Demikian pula kepemimpinan, leadership quotient (LQ), kemampuan interaksi sosial (SocQ) serta kreatifitas dengan creativity quotient (CQ).

Howard Gardner menuturkan bahwa sesungguhnya manusia memiliki berbagai sisi kecerdasan, dan bukan sekedar intelijensi yang telah dipersepsikan selama ini. Setidaknya Gardner menyodorkan tujuh macam kecerdasan yang dituangkan dalam konsep 'multiple intelligence'.

Sesungguhnya sebagian dari konsep inteligensi yang disodorkan oleh Gardner, sudah diakomodasi oleh tes intelijensi yang telah kita kenal. Kecerdasan bahasa misalnya, memungkinkan seseorang memiliki potensi lebih dalam penggunaan bahasa dan diyakini akan memudahkannya untuk menjadi seorang sastrawan, penulis atau pembawa acara.

Aspek kecerdasan ini sebenarnya sudah lazim diukur dalam sebuah rangkaian tes inteligensi. Demikian kecerdasan 'persepsi ruang' (spatial) yang berkaitan dengan kemampuan desain, menggambar, arsitektural sebenarnya juga sudah diukur dalam tes inteligensi. Namun kedua jenis inteligensi ini, bersama dengan kecerdasan logika matematika diberdirikan sendiri oleh Gardner.

Yang menarik barangkali adalah adanya kecerdasan musik (musical intelligence) dan kecerdasan gerak tubuh (bodily-kinesthetic intelligence) yang dimasukkan dalam konsep kecerdasan. Pada masa lalu kedua bidang ini hanya disebut sebagai bakat.

Sementara dua kecerdasan lain yang disodorkan Gardner, berupa kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence) dan kecerdasan intrapersonal, sebelumnya dianggap sebagai aspek kepribadian.

Penunjang sukses
Tidak kalah menariknya adalah timbulnya kesadaran akan perlunya konsep spiritual dimasukkan sebagai penunjang kesuksesan. Berarti 'kesuksesan' sebagai tujuan hidup juga mengalami perluasan dan pendalaman makna. Kita tahu bahwa dalam peradaban manusia, betapa manusia telah mencari hubungan vertikal dengan yang kuasa. Mulai dari benda mati (animisme), benda hidup (dinamisme), sampai kepada Tuhan.

Bahkan, menurut penelitian neuropsychologist Michael Persinger dan neurologist V.S. Ramachandran dari University of California, pada 1990-an ditemukan god-spot dalam otak manusia. Area ini terletak hubungan syaraf di temporal lobes, dalam otak. Selama pemindahan dengan emisi positron topografi, area syaraf tersebut menyala jika subyek penelitian diajak berdiskusi tentang topik spiritual.

Konsep intelijensi spiritual, tidak hanya mencakup hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal terhadap sesama makhluk Tuhan, Jika dinyatakan sebagai SQ, tentu ini harus dioperasionalisasikan menjadi alat ukur. Tapi hasil pengukuran ini harus diapresiasikan secara hati-hati, karena sifatnya sangatlah subyektif, dan agak sulit diperbandingkan seperti layaknya satuan ukur yang lain.

Relevansinya dengan dunia organisasi? Dunia organisasi sedang menggalakkan corporate ethics dan good corporate governance. Diharapkan dengan didudukkan orang-orang dengan 'intelijensi spiritual' yang tinggi, akan lebih 'sukses' dalam mengelola perusahaan dengan prinsi-prinsip etika.

Organisasi adalah sistem yang terbuka, dalam arti sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya berada. Ketika lingkungan makin menyadari betapa faktor-faktor etika harus menjadi perhatian di samping tujuannya sebagai pencari laba, maka organisasi pun harus berdapatasi.

Sementara organisasi adalah tempat para anggotanya membentuk karir, yang melahirkan kriteria sukses atau tidak sukses. Di sinilah terbentuk mata rantai antara perilaku etis dan kesuksesan, yang membentuk korelasi antara tingkat inteligensi spritual dan kesuksesan.

Oleh A.B. Susanto
Managing Partner
The Jakarta Consulting Group
   
           
Powered by
      Mail   |   Chat   |   Forum
Divisi Multimedia
Radio Republik Indonesia